Sabtu, 18 Juni 2011

Merosotnya Moral Santri = Merosotnya Pemahaman Ajaran-Ajaran Salafy



Dunia Pesantren; Dunia Intelektualistik dan Religius
Ayat pertama kali turun dalam Surat al-Alaq secara signifikan menegaskan untuk membaca dan belajar bagi kaum muslim. Menjadi muslim berarti menjadi santri, menjadi santri berarti tidak boleh lepas dari kegiatan belajar selama 24 jam di lembaga pendidikan pesantren. Penanaman nilai-nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi menyebabkan santri diharap benar-benar memiliki  aqidah yang kuat, syari'at yang matang dan ilmu pengatahuan yang mumpuni. Penanaman nilai moral juga mendapat tempat signifikan dalam setiap pesantren. Hal ini disebabkan para Kiai adalah pewaris para Nabi. Nabi tidak mewariskan apapun kecuali ilmu pengatahuan dan akhlaq yang mulya. Hal ini ditegaskan sendiri oleh beliau:

العلماء ورثة الأنبياء, والأنبياء لم يورّثوا دينارا ولادرهاما إنما ورثوا العلم
"Para ulama adalah pewaris para nabi, nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu"

إنما بعثت لأتمم مصالح الأخلاق
“Dan tidaklah aku diutus (Allah) melainkan untuk menyempurnakan kebaikan akhlak”
 
Oleh karena itu, apa yang ditetapkan dan dipraktekkan oleh Kiai untuk kemudian diikuti oleh santri merupakan implementasi ajaran-ajaran salaf yang bersumber pada prilaku Nabi Muhammad yang tercover dalam hadits-haditsnya tentang; bagaimana etika santri dengan orang-orang sekitarnya dan bagaimana etika santri dengan rabbnya. Semua itu dilakukan secara disiplin dan istiqamah. Disiplin dalam bersikap, disiplin dalam ibadah dan disiplin dalam amaliyah sehari-hari, meskipun itu butuh proses panjang dan perjuangan yang gigih. Pendidikan  pesantren selama 24 jam menstimulasi santri membiasakan diri disiplin melakukan amaliyah-amaliyah wajib maupun sunnah, membaca wirid-wirid, membaca al qur’an dan prilaku-prilaku hasanah, sehingga terbentuklah santri yang taat guru, taat orang tua, taat agama, dan taat berbangsa.
Sebuah Kontemplasi; Merosotnya Moral Santri
Idealitas di atas seandainya dapat terealisasi secara menyeluruh, niscaya akan dapat menciptakan pribadi-pribadi santri yang tangguh, mumpuni, mandiri dan matang secara profesional. Cita-cita pesantren dalam meneruskan estafet  perjuangan Nabi tentu tidak akan sulit terlaksana. Begitupun idealitas pesantren sebagai basic pertahanan ajaran-ajaran Islam. Namun realitanya justru berbalik. Ternyata prinsip-prinsip pesantren mulai bergeser dikalangan santri, khususnya para remaja. Pergeseran ini disebabkan kecenderungan mereka mengikuti budaya-budaya luar yang tak sejalan dengan prinsip pesantren. Pelanggaran-pelanggaran atau prilaku negatif santri kerap bermuara pada budaya tersebut, seperti melihat konser musik, kekerasan fisik, pencurian, pacaran, pesta miras atau sabu-sabu, dan lain-lain. Begitu pula cara penampilan mereka yang tidak sedikit mengikuti gaya yang sedang tren di kalangan selebritis, seperti; mode pakaian yang gaul, gaya rambut yang modis dan berwarna, gelang tangan dan memakai kalung. Belum lagi cara bergaul yang sok abis, seperti tidak lagi bersikap tawadlu pada guru dan orang-orang sekitarnya terutama orang tua, tutur kata yang kasar, suka urakan dan rendahnya sikap menghormati. Budaya dan etika non-religius seperti itu ditelan mentah-mentah tanpa disikapi secara kritis.
Bukankah semua prilaku itu tidak sejalan dengan semangat ajaran-ajaran kaum salaf? Bukankah para Kiai dalam mendidik lebih menekankan pada keteladan ulama-ulama salaf? Bukankah kita memiliki kiai-kiai besar dengan akhlaq yang luhur dan intelektual yang tinggi, sebut saja Kiai Hamid (Pasuruan), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) Kiai Hasani Nawawie (sidogiri, Pasuruan), Kiai Shiddiq (Jember) dan lain sebagainya. Dari sosok penampilan yang telah diteladankan Kiai Hamid, kita bisa berkontemplasi (merenungkan) bahwa penghayatan dan  pengamalan ilmu itu beliau latih sejak menjadi santri. Demikian luas pergaulan yang membangun pribadi beliau yang dijalaninya sejak muda, menyebabkan beliau menjadi manusia yang utuh yang menghargai manusia sebagai manusia; bukan karena atribut ke-kiai-annya. Dan kesemuanya itu melahirkan kearifan, yang hingga kini sangat sulit kita jumpai di kalangan tokoh-tokoh yang alim.
Kemerosotan moral santri ini  mengacu pada rendahnya pemahaman ajaran ulama-ulama salaf yang tertuang dalam bentuk ahwal (prilaku), lisan (wejangan) atau tulisan (kitab/buku). Akibatnya,  identitas santri sedikit demi sedikit mulai terkikis seiring perkembangan usia, lebih-lebih pada remaja. Diperparah lagi karena pengaruh pesatnya laju budaya modern dan informasi tanpa ada filter ketat. Obyek perhatian santri dalam berpikir, bersikap dan bertindak juga mulai bergeser mengikuti aturan main remaja sebaya yang berkembang di lingkungan eksternal pesantren. Kontrol diri yang lemah akan menambah daftar "kenakalan" santri  yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima. Begitupun bagi mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan ilmu pengetahuannya.
Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi dengan prinsip keteladanan. Santri harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur tokoh-tokoh pesantren yang telah melampaui masa nyantrinya dengan baik. Usaha apa saja yang mereka lakukan hingga bisa mencapai taraf kesuksesan, baik dari segi intelektual maupun segi kepribadian untuk kemudian dipraktekkan, sebut saja keteladanan Kiai Abd. Hamid Pasuruan dalam buku biografinya “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid Pasuruan”. Siapa tahu, kita mendapatkan berkah keteladan figur Kiai Hamid dan diberi ma'unah untuk meneladaninya?... Wallahu A’lam bi al-Showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar